SOSOK pemalak jangan dibayangkan selalu mantan napi, preman berbadan besar, bertampang garang atau orang berpenampilan menakutkan. Pemalak zaman sekarang ini bisa juga anak-anak yang masih bau kencur, bocah yang berlagak sok jagoan dan mencoba meniru ulah penjahat di film-film untuk memperoleh apa yang mereka inginkan.
Seperti diberitakan Kedaulatan Rakyat (17/12), seorang pelajar SMP dilaporkan telah menjadi korban pemerasan yang dilakukan segerombolan pemalak cilik. Radit (14) siswa kelas 2 sebuah sekolah swasta di Yogyakarta dipalak oleh komplotan ramaja pimpinan Ag. Ia dipaksa untuk menyerahkan sejumlah uang dan dirampas pula jaketnya.
Para pelaku masih di bawah umur. Tetapi karena korban juga anak-anak, mentalnya sudah jatuh gara-gara takut ancaman pelaku. Korban pun hanya bisa bersikap pasrah menuruti perintah pelaku.
Patologis
Aksi premanisme di Indonesia sebetulnya bukan hal yang baru. Berbagai tindakan pemalakan telah biasa terjadi di berbagai komunitas. Di kalangan pelajar, aksi pemalakan juga telah lama menjadi bagian dari kenakalan remaja. Tetapi, aksi pemalakan yang dilakukan preman cilik, belakangan ini ada indikasi makin berani dan melibatkan penggunaan senjata tajam.
Aksi pemalakan yang dilakukan bocah kepada bocah lain tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Di Jakarta, Surabaya, Malang dan kota-kota lain, aksi serupa juga kerap terjadi. Secara garis besar, ada tiga faktor yang melatarbelakangi kenapa aksi premanisme dan pemalakan makin marak di kalangan anak-anak.
Pertama, berkaitan dengan subkultur anakanak marginal yang sehari-hari terbiasa dengan kekerasan dan gaya hidup yang keliru. Anakanak marginal yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang kurang kondusif umumnya berpeluang tumbuh menyimpang. Dalam keseharian, mereka tidak dididik untuk berperilaku konform, melainkan malah tumbuh dengan kultur resistensi yang serba melawan yang cenderung patologis. Melakukan aksi pemalakan adalah salah satu bentuk perilaku patologis yang mereka lakukan, karena belajar dari lingkungan sosial, yaitu para seniornya yang sebelumnya sudah terbiasa melakukan hal yang sama.
Kedua, berkaitan dengan kepribadian anakanak marginal yang cenderung sok jagoan. Mereka meyakini, berperilaku menyimpang adalah ekspresi dari kadar kejagoan mereka. Anak-anak marginal yang terbiasa menganggap ukuran popularitas adalah keberanian dan tindakan sok jagoan, maka mereka biasanya di bawah sadar akan terdorong melakukan berbagai aksi yang melawan arus, aksi-aksi yang rawan terjerumus dalam tindak kriminal.
Ketiga, pengaruh game dan film-film yang menawarkan kultur kekerasan. Sudah bukan rahasia lagi, film-film sinetron dan game yang beredar di kalangan anak-anak umumnya sarat dengan tindak kekerasan. Anak-anak yang secara psikologis masih mengembangkan perilaku imitatif, mereka biasanya dengan mudah terpengaruh, dan ikut-ikutan melakukan aksi yang sama.
‘Counter Culture’
Aksi pemalakan yang dilakukan sejumlah preman cilik di Yogyakarta, pada akhirnya telah berhasil ditangkap polisi. Para preman cilik yang semula tampil garang menggertak korban akhirnya meminta ampun dan menangis di hadapan polisi. Masalahnya sekarang: walau pun aksi premanisme yang dilakukan anak-anak itu telah berkali-kali berakhir di kantor polisi, tetapi kenapa anak-anak yang lain sepertinya tidak pernah jera? Kenapa di balik komitmen aparat kepolisian menangkap para preman, justru lahir preman-preman cilik yang makin garang?
Memberantas aksi preman cilik, berbeda dengan memberantas preman dewasa yang profesional. Untuk mengeliminasi agar aksi preman cilik tidak makin menjadi-jadi, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah pendekatan counter culture. Yakni pendekatan yang berbasis pada upaya mendekonstruksi subkultur anak marginal. Dan kemudian menawarkan subkultur tandingan yang mampu menyalurkan energi mereka. Sikap ngejago anak-anak tidak mungkin dihilangkan. Yang bisa kita lakukan adalah bagaimana menyalurkan dalam koridor yang masih bisa ditoleransi.
0 komentar:
Posting Komentar