Kalau kita baca uraian diatas jelas sangat
tidak sinkron antara tujuan UU no.20 tahun 2003 tetang system pendidikan dengan
kenyataan yang ada dilapangan, bahkan jauh sebelum UU no. 20 tahun 2003 lahir,
tauran pelajar sudah terjadi,, pertanyaannya adalah apakah dengan lahirnya UU
no. 20 tahun 2003 bisa mengatasi tauran
pelajar ? atau mungkin ada masalah lain ?.
Bagaimana
mengatasi tauran yang hampir tiap hari terjadi di Jakarta ? langkah-langkah apa saja yang bisa
dilakukan agar tauran bisa diatasi
1. 1. Pengertian Tawuran
Dalam
kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang
meliputi banyak orang. Sedangkan “pelajar” adalah seorang manusia yang belajar.
Sehingga pengertian tawuran pelajar adalah perkelahian yang dilakukan oleh
sekelompok orang yang mana perkelahian tersebut dilakukan oleh orang yang
sedang belajar
Secara
psikologis, perkelahian yang melibatkan pelajar usia remaja digolongkan sebagai
salah satu bentuk kenakalan remaja (juvenile deliquency). Kenakalan remaja,
dalam hal perkelahian, dapat digolongkan ke dalam 2 jenis delikuensi yaitu
situasional dan sistematik.
a.
Delikuensi situasional, perkelahian terjadi karena adanya situasi yang “mengharuskan”
mereka untuk berkelahi. Keharusan itu biasanya muncul akibat adanya kebutuhan
untuk memecahkan masalah secara cepat.
b.
Delikuensi sistematik, para remaja yang terlibat perkelahian itu berada di
dalam suatu organisasi tertentu atau geng. Di sini ada aturan, norma dan
kebiasaan tertentu yang harus diikuti angotanya, termasuk berkelahi. Sebagai
anggota, tumbuh kebanggaan apabila dapat melakukan apa yang diharapkan oleh
kelompoknya. Seperti yang kita ketahui bahwa pada masa remaja seorang remaja
akan cenderung membuat sebuah genk yang mana dari pembentukan genk inilah
para remaja bebas melakukan apa saja tanpa adanya peraturan-peraturan
yang harus dipatuhi karena ia berada dilingkup kelompok teman sebayanya.
2. Teori Belajar social
Teori belajar sosial lebih
memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
Sarwono, 2002) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari- hari pun perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.
3 . Teori Kualitas Lingkungan
Strategi yang dipilih
seseorang untuk stimulus mana yang diprioritaskan atau
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efef yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
diabaikan pada suatu waktu tertentu akan menentukan reaksi positif atau negatif terhadap lingkungan. Berikutnya adalah teori Kualitas Lingkungan yang salah satunya meliputi kualitas fisik (ambient condition). Berbicara mengenai kualitas fisik (ambient condition), Rahardjani dan Ancok (dalam Prabowo, 1998) menyajikan beberapa kualitas fisik yang mempengaruhi perilaku yaitu: kebisingan, temperatur, kualitas udara, pencahayaan dan warna. Menurut Ancok (dalam Prabowo, 1998), keadaan bising dan temperatur yang tinggi akan mempengaruhi emosi para penghuni. Sedangkan menurut Holahan (dalam Prabowo, 1998) tingginya suhu dan polusi udara paling tidak dapat menimbulkan dua efef yaitu efek kesehatan dan efek perilaku.
Tawuran
pelajar merupakan salah satu bentuk perilaku negatif yang sangat marak terjadi
dikota -kota besar, misalnya Jakarta. Permasalahan remeh dapat menyulut
pertengkaran individual yang berlanjut menjadi perkelaian masal dan tak jarang
melibatkan penggunaan senjata tajam atau bahkan senjata api. Banyak korban yang
berjatuhan, baik karena luka ringan, luka berat, bakan tidak jarang terjadi
kematian. Tawuran ini juga membawa dendam berkepanjangan bagi para pelaku yang
terlibat didalamnya dan sering berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Hal
ini tentunya merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan. Generasi yang
diharapkan mampu membawa perubahan bangsa kearah yang lebih baik ternyata jauh
dari harapan. Kondisi ini juga dapat membawa dampak buruk bagi masa depan
bangsa. Lickona menyebutkan beberapa tanda dari perilaku manusia yang
menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa antara lain meningkatnya kekerasan
dikalangan remaja, pengaruh kelompok sebaya terhadap tindakan kekerasan, dan
semakin kaburnya pedoman moral.
1. Faktor- faktor yang menyebabkan
tawuran pelajar
Berikut
ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan tawuran pelajar, diantaranya :
a.
Faktor Internal
Faktor
internal ini terjadi didalam diri individu itu sendiri yang berlangsung melalui
proses internalisasi diri yang keliru dalam menyelesaikan permasalahan
disekitarnya dan semua pengaruh yang datang dari luar. Remaja yang melakukan
perkelahian biasanya tidak mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan yang
kompleks. Maksudnya, ia tidak dapat menyesuaikan diri dengan keanekaragaman
pandangan, ekonomi, budaya dan berbagai keberagaman lainnya yang semakin lama
semakin bermacam-macam. Para remaja yang mengalami hal ini akan lebih
tergesa-gesa dalam memecahkan segala masalahnya tanpa berpikir terlebih dahulu
apakah akibat yang akan ditimbulkan. Selain itu, ketidakstabilan emosi para
remaja juga memiliki andil dalam terjadinya perkelahian. Mereka biasanya mudah friustasi,
tidak mudah mengendalikan diri, tidak peka terhadap orang-orang disekitarnya.
Seorang remaja biasanya membutuhkan pengakuan kehadiran dirinya ditengah-tengah
orang-orang sekelilingnya. Di
antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi tradisi yang harus
dilakukan. Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti perkembangan
zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dalam
studinya tentang kekerasan, Foucault, seorang psikolog sosial, menyatakan bahwa
kekerasan adalah buah dari simbolisasi perlawanan akan bentukan emosi yang
menekan manusia secara eksistensial. Disisi yang lain, Eric Fromm menyatakan
bahwa kekerasan adalah wujud dari ketakutan dan keterancaman. Dari dua teori
diatas, kita tentu memahami mengapa pelajar melakukan kekerasan. Sebagai
manusia remaja, pelajar, dalam pengalaman keseharian mereka, merasakan bentukan
hegemoni dari orang yang lebih dewasa (orang tua, guru dan sekolah itu sendiri)
melalui aturan normative yang membelit kebebasan mereka. Mereka lebih sering
dituntut untuk memahami segala bentuk tatanan yang sifatnya baru bagi mereka
daripada diberikan kebebasan untuk berpikir kritis atas tatanan-tatanan
tersebut. Mereka merasakan sebuah keterancaman eksistensial dimana keberadaan
mereka tidak terlalu diakui sebagai selayaknya manusia yang setara. Mereka
adalah gudang kesalahan yang setiap hari selalu diposisikan sebagai sosok yang
tidak pernah benar di mata orang dewasa.
Mereka
berkelompok karena mereka merasakan sebuah perasaan senasib. Perasaan senasib
tersebut menimbulkan sebuah solidaritas masal yang sifatnya fanatis dan
simbolik. Mereka yang tidak bisa memenuhi tuntutan solidaritas tidak akan terekrut
dalam kelompok-kelompok yang ada. Disinilah mereka harus menunjukan jati diri
eksistensi mereka. Minuman keras, narkoba, dan perkelahian bukan sekedar
eksperimentasi mereka sebagai remaja melainkan juga menjadi semacam metode
simbolik untuk bisa diterima oleh kelompok-kelompok yang ada. Tanpa
kelompok-kelompok itu, mereka akan mengalami perasaan kesepian yang mendalam
karena teralienasi baik oleh kelompok manusia dewasa maupun seusia mereka.
b.
Faktor Eksternal
Faktor
eksternal adalah faktor yang datang dari luar individu, yaitu :
1.
Faktor Keluarga
Keluarga
adalah tempat dimana pendidikan pertama dari orangtua diterapkan. Jika seorang
anak terbiasa melihat kekerasan yang dilakukan didalam keluarganya maka setelah
ia tumbuh menjadi remaja maka ia akan terbiasa melakukan kekerasan karena
inilah kebiasaan yang datang dari keluarganya. Selain itu ketidak harmonisan
keluarga juga bisa menjadi penyebab kekerasan yang dilakukan oleh
pelajar. Suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman dan tidak
menyenangkan serta hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya
psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja.
Menurut
Hirschi (dalam Mussen dkk, 1994). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa
salah satu penyebab kenakalan
remaja dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang
baik bagi anak (hawari, 1997).
Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan bahwa salah satu penyebab kenakalan remaja
dikarenakan tidak berfungsinya orang tua sebagai figure teladan yang baik bagi
anak (hawari, 1997). Jadi disinilah peran orangtua sebagai penunjuk jalan
anaknya untuk selalu berprilaku baik.
2.
Faktor Sekolah
Dalam beberapa diskusi atau tulisan yang
dimuat di media masa, beberapa ahli atau penggiat pendidikan sering
mengopinikan adanya kebutuhan akan kegiatan-kegiatan positif yang mampu
mewadahi kreativitas dan dinamisasi kehidupan remaja dalam rangka mengurangi
angka terjadinya tawuran antar siswa baik di tingkat SMP atau SMU.
Kegiatan-kegiatan positif bisa dibentukan dalam aktivitas persahabatan antar
sekolah yang lebih menitikberatkan kepada persoalan-persoalan ilmiah. Dari
kegiatan tersebut akan muncul sebuah keakraban universal diantara mereka para
pelajar.
Sekolah
tidak hanya untuk menjadikan para siswa pandai secara akademik namun juga
pandai secara akhlaknya . Sekolah merupakan wadah untuk para siswa
mengembangkan diri menjadi lebih baik. Namun sekolah juga bisa menjadi wadah
untuk siswa menjadi tidak baik, hal ini dikarenakan hilangnya kualitas pengajaran
yang bermutu. Contohnya disekolah tidak jarang ditemukan ada seorang guru
yang tidak memiliki cukup kesabaran dalam mendidik anak muruidnya akhirnya guru
tersebut menunjukkan kemarahannya melalui kekerasan. Hal ini bisa saja ditiru
oleh para siswanya. Lalu disinilah peran guru dituntut untuk menjadi seorang
pendidik yang memiliki kepribadian yang baik.
Menjadi guru lebih mudah ketimbang
menjadi sahabat mereka. Pelajar membutuhkan perasaan diterima dan diakui
sebagai manusia yang berkedudukan setara dengan siapapun juga. Mereka muak
untuk dipaksa memahami tanpa memiliki kesempatan untuk dipahami. Perilaku
mereka adalah sebuah kompensasi atas perasaan teralienasi dalam dunia belajar
mengajar. Satu satu solusi jangka panjang yang mungkin dilakukan adalah merubah
paradigma guru. Guru sebaiknya memahami mereka sebagai remaja yang lahir dari
kultur keluarga, masyarakat dan pribadi yang berbeda. Kultur remaja memiliki
belief dan values sendiri yang tidak bisa ditekan untuk menerima kultur dewasa yang
universal. Menekan mereka hanya akan membentuk bangunan hegemoni kepada mereka
yang terkompensasi dalam perilaku destruktif mereka sebagai sebuah simbol
perlawanan eksistensial demi mendapatkan pengakuan
3.
Faktor Lingkungan
Lingkungan
rumah dan lingkungan sekolah dapat mempengaruhi perilaku remaja. Seorang remaja
yang tinggal dilingkungan rumah yang tidak baik akan menjadikan remaja tersebut
ikut menjadi tidak baik. Kekerasan yang sering remaja lihat akan membentuk pola
kekerasan dipikiran para remaja. Hal ini membuat remaja bereaksi anarkis. Tidak
adanya kegiatan yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang oleh para pelajar
disekitar rumahnya juga bisa mengakibatkan tawuran.
Dosen Psikologi Universitas
Indonesia, Winarini Wilman, dalam diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu,
mengatakan, fenomena tawuran pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan
tahun. Dari kacamata psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku
kelompok. Ada sejarah, tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah
yang lalu terindoktrinasi dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di
jalanan, jauh dari sekolah. Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama
dan waktu yang sama. Aparat keamanan pun sering berjaga di titik tersebut,
tetapi siswa yang hendak tawuran selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi
berjudul ”Student Involvement in Tawuran: A Social-psychological Interpretation
of Intergroup Fighting among Male High School Students in Jakarta”, tahun
1996-1997, Winarini menemukan adanya fenomena barisan siswa (basis) yang
terdiri atas 10-40 siswa. Mereka bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus
umum. Basis itu terbentuk berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh
sekolah musuh bebuyutan mereka (Kompas, 26/11).
2.
Hal yang menjadi pemicu tawuran
Fenomena
tawuran yang terjadi di Indonesia beberapa pekan terakhir membuka mata kita
kembali akan maraknya kekerasan dalam pergaulan sosial remaja pelajar Indonesia
yang lama sempat tengelam ditengah hiruk pikuk carut marut pendidikan nasional.
Bila dicermati, respon masyarakat awam maupun kalangan pendidikan terhadap
fenomena tawuran selalu saja mengkambinghitamkan problem-problem sosial di luar
sekolah yang mempengaruhi pembentukan perilaku negatif pelajar. Disinilah letak
penyimpangan intepretasi sosial yang terkadang mewujud kepada penanganan yang
selama ini terbukti tidak efektif mengurangi angka kejadian tawuran pelajar di
Indonesia. Seorang Psikolog tersohor, Maslow, mengkategorikan beberapa motif
perilaku kepada bangunan piramida motivasi manusia. Dalam teori motivasinya,
Maslow menyebutkan bahwa salah satu motivasi tindakan manusia adalah untuk
memperoleh pengakuan eksistensial dari sesamanya. Disinilah titik penting yang
sering terlepas dari kesadaran kritis kita dalam menyoroti fenomena tawuran
antar pelajar selama ini.
Pelajar
adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara dunia anak menuju
dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai menyadari
kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh komunitas
masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut terkadang
menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan tidak
mungkin, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah
mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran
kelompok-kelompok vandalistik (baca: gank) yang biasanya mengundang
perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya.
Banyak
sekali alasan yang bisa menjadikan tawuran antar-pelajar terjadi. Pelajar
sering kali tawuran hanya karena masalah sepele, seperti saling ejek,
berpapasan di bus, pentas seni, atau pertandingan sepak bola. Bahkan, yang baru
terjadi awal bulan ini, tawuran dipicu saling ejek di Facebook, yang kemudian
sampai menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang. Padahal, jejaring sosial,
kan, hanya untuk having fun, bukan untuk menjadi pemicu tawuran.
Tak
jarang disebabkan oleh hanya saling menatap antar sesama pelajar yang berbeda
sekolahan. Bahkan saling rebutan wanita pun bisa menjadi pemicu tawuran. Dan
masih banyak lagi sebab-sebab lainnya. Selain
alasan-alasan yang spontan, ada juga tawuran antar-pelajar yang sudah menjadi
tradisi.
Dari jajak pendapat Kompas pada bulan
Oktober, dengan responden di 12 kota di Indonesia, diketahui sebanyak 17,5
persen responden mengakui bahwa saat dia bersekolah SMA, sekolahnya pernah
terlibat tawuran antar-pelajar. Tidak sedikit pula responden atau keluarga
responden yang mengaku pada masa bersekolah terlibat tawuran atau perkelahian
massal pelajar. Jumlahnya mencapai 6,6 persen atau sekitar 29 responden.
Di
antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi tradisi yang harus
dilakukan. Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti
perkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dosen
Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam diskusi bersama Litbang
Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran pelajar di Jakarta sudah
terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata psikologis, ujar Winarini, tawuran
merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah, tradisi, dan cap yang lama melekat
pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran
lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah. Tawuran juga sering kali
terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat keamanan pun sering
berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran selalu bisa mencari
cara untuk tetap tawuran.
Dalam
penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement in Tawuran: A
Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among Male High
School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan adanya
fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka
bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk
berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan
mereka (Kompas, 26/11).
3.
Dampak karena tawuran pelajar
a. Kerugian
fisik, pelajar yang ikut tawuran kemungkinan akan menjadi korban. Baik itu cedera ringan, cedera berat, bahkan sampai
kematian
b. Masyarakat
sekitar juga dirugikan. Contohnya : rusaknya rumah warga apabila pelajar yang
tawuran itu melempari batu dan mengenai rumah warga
c. Terganggunya proses belajar
mengajar
d. Menurunnya moralitas para
pelajar
e. Hilangnya perasaan peka,
toleransi, tenggang rasa, dan saling menghargai
4.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi tawuran pelajar
Untuk
menghilangkan tawuran antar-pelajar yang sudah mengakar, tentu dibutuhkan usaha
keras. Banyak usulan yang dilontarkan untuk mengurangi tawuran antar-pelajar.
Beberapa di antaranya memindahkan sekolah, memotong generasi di sekolah, atau
memotong mata rantai tradisi tawuran.
Salah
satu upaya mengurangi tawuran yang juga pernah dilakukan adalah memindahkan
letak sekolah karena diduga lingkungan sekolah yang terlalu ramai di tengah
kota mengakibatkan tekanan mental lebih berat bagi siswa. Pada periode 1980-an,
SMA 7 Gambir, Jakarta, terlibat konflik dengan STM Boedi Oetomo Pejambon.
Kemudian, pada awal tahun 1990-an, SMA 7 dipindahkan ke wilayah Karet
Pejompongan untuk memutus tawuran dengan STM Boedi Oetomo.
Ketua
KPAI Maria Ulfah Anshor mengungkapkan, tradisi tawuran bisa diputus dengan
menanamkan nilai-nilai kepada anak-anak di rumah. ”Keluarga mempunyai peranan
penting untuk menanamkan nilai menghargai perbedaan, yang nyata dalam kehidupan
dan tidak bisa dihindari. Nah, bagaimana menghargai perbedaan itu menjadi
sesuatu yang positif,” kata Maria Ulfah.
Untuk
itulah, ketika melakukan mediasi antara SMA 6 dan SMA 70 Jakarta, KPAI juga
mengundang pihak orangtua. ”Sistem pendidikan kita seharusnya juga ikut
mendukung itu. Dulu ada pelajaran budi pekerti, tetapi kurikulum
menghilangkannya dengan alasan sudah terintegrasi dengan pelajaran lain.
Padahal, kenyataannya, nilai-nilai dari budi pekerti itu memang tidak
diajarkan, hilang begitu saja,” ujarnya.
Maria
Ulfah juga mengusulkan memotong mata rantai pemicu tawuran. Terkadang kita
tidak tahu apa yang menjadi penyebab tawuran, yang kemudian mengakar sampai ke
generasi berikutnya. Nah, kata Maria Ulfah, mengapa tidak mengubah paradigma
tawuran, permusuhan antar-pelajar tak perlu disikapi dengan perlawanan.
”Harus
diputus tradisi senior yang memanas-manasi yuniornya supaya terlibat tawuran.
Ada baiknya pula menghidupkan kembali pertandingan persahabatan antarsekolah.
Kalau zaman dulu pertandingan olahraga bisa mempererat hubungan antarpelajar,
kenapa sekarang tidak?” ungkapnya. Harapan KPAI tentu menjadi harapan kita
semua.(suSIE berindra)
Cara
mengatasi tauran, sekolah juga bisa melakukan dengan cara:
a. Memberikan pendidikan moral
untuk para pelajar
b. Menghadirkan seorang figur yang baik
untuk dicontoh oleh para pelajar. Seperti hadirnya seorang guru, orangtua, dan teman
sebaya yang dapat mengarahkan para pelajar untuk selalu bersikap baik
c. Memberikan
perhatian yang lebih untuk para remaja yang sejatinya sedang mencari jati diri
d. Memfasilitasi
para pelajar untuk baik dilingkungan rumah atau dilingkungan sekolah untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
bermanfaat diwaktu luangnya. Contohnya : membentuk ikatan remaja
masjid atau karangtaruna dan membuat acara-acara yang bermanfaat, mewajibkan
setiap siswa mengikuti organisasi atau ekstrakulikuler disekolahnya.
e. Bahkan antara tahun 2002 sampai tahun 2005 tauran mulai
berkurang karena pada saat itu Dinas Pendidikan DKI Jakarta memberikan
instruksi kepada seluruh sekolah khususnya SLTA
agar tiap-tiap sekolah siswanya
mengikuti kegiatan kesiswaan dengan system mentoring.
Kartini
kartono pun menawarkan beberapa cara untuk mengurangi tawuran remaja,
diantaranya :
1. Banyak mawas
diri, melihat kelemahan dan kekurangan sendiri dan melakukan koreksi terhadap
kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun
2. Memberikan
kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat
3. Memberikan
bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan remaja zaman sekarang serta kaitannya dengan
perkembangan bakat dan potensi remaja
http://den-haryprasetyo.blogspot.co.id/2013/11/tawuran-antar-pelajar-masalah-dan_7044.html
0 komentar:
Posting Komentar